Uzur

Selepas orang-orang turun dari langgar, Kang Parman datang ke rumahku dengan baju lusuh berbau keringat. Kulihat jumlah cobek batu yang ia pikul pulang masih sama dengan yang pagi tadi ia bawa berangkat. Ia mengucap salam dengan suara parau sembari menurunkan bilah bambu dari pundak.

“Duduk dulu, Kang,” suruhku sebelum kembali masuk ke rumah.

Tidak lama kemudian, aku kembali menemuinya dengan segelas air dingin di tangan. Kang Parman telah duduk di lincak sambil mengipasi wajah dengan caping bambunya yang telah usang.

“Belum ada yang laku, Kang?” tanyaku sembari mengulurkan gelas yang kupegang.

Ia mengucap terima kasih, lalu meneguk isi gelas dengan begitu rakus. Mungkin sudah sejak tadi dia menahan haus. Kuambil tempat di sebelahnya, duduk bersandar ke dinding dengan kedua kaki terlipat di atas lincak. Aku memang lebih suka menerima tamu di teras karena barang-barang dagangan istriku membuat ruang tamu terasa sesak.

“Belum, Mat. Tadi ada yang nawar separuh harga. Kupikir, nggak apa-apa lah aku nggak balik modal, yang penting bawa pulang uang. Tapi, pas aku iyakan tawarannya, orang itu justru pamit terima telepon dan nggak balik lagi.” Dia meletakkan gelas yang telah kosong di bawah lincak. “Padahal, aku benar-benar butuh uang. Berasku sudah habis.”

“Bagaimana keadaan Yu Romlah?” Aku menanyakan kabar istrinya. Sudah nyaris sebulan, istri Kang Parman itu hanya bisa berbaring di tempat tidur.

Mantri desa bilang, Yu Romlah terkena strok. Bagian kiri tubuh wanita itu sama sekali tidak bisa digerakkan. Kang Parman sudah beberapa kali membawa istrinya berobat ke RSUD untuk diterapi, tapi tidak ada hasil yang berarti, sampai akhirnya mereka menyerah dan memilih pasrah. Biaya pengobatan memang ditanggung pemerintah, tapi Kang Parman tidak dapat bekerja karena harus mengantarkan istrinya ke rumah sakit. Itu artinya, tidak ada pemasukan untuk keluarga kecil mereka.

“Masih seperti kemarin-kemarin.” Suara Kang Parman terdengar begitu lirih. “Malah, makin sering aku lihat dia menangis sambil menatap foto Ayu.”

“Sudah kubilang, kan, turunkan saja foto itu dari dinding, Kang.”

Ayu adalah anak semata wayang Kang Parman dan Yu Romlah. Gadis itu mewarisi wajah cantik dan kulit kuning langsat ibunya. Pemuda-pemuda desa yang siang malam nongkrong di pos ronda selalu bersiul tiap kali Ayu lewat. Banyak yang ingin mempersuntingnya sebagai istri, tetapi gadis itu selalu menolak. Selepas lulus SMA, Ayu berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk bekerja ke ibu kota. Awalnya, Kang Parman tidak mengizinkan, tetapi akhirnya luluh juga setelah Yu Romlah ikut membujuknya.

“Romlah selalu marah jika aku turunkan foto itu. Dia justru akan menangis lebih keras,” keluhnya.

Mata Kang Parman menyiratkan luka. Sudah tiga tahun Ayu menghilang tanpa kabar. Kang Parman pernah berusaha mencari ke Jakarta, tetapi tidak ada satu pun petunjuk yang dia dapat. Setelah seminggu berkeliling kota metropolitan itu, dia akhirnya memutuskan pulang dan menerima kenyataan.

“Mat.” Pria itu menatapku dengan raut sedih. “Maaf, aku belum bisa bayar utang ke kamu. Padahal, uang itu harusnya kamu pakai buat uang sekolah Rania, ya?”

Tidak tahu harus bereaksi apa, aku hanya bisa merangkai senyum dengan terpaksa. Minggu lalu, aku memang sempat menagih utang padanya. Itu pun hanya sebagian saja, bukan semuanya.

Sejak awal kedatangannya, aku sudah menebak ia lagi-lagi akan memintaku menangguhkan pembayaran utangnya. Sebenarnya, aku ingin bersikap tegas kepada Kang Parman seperti yang selama ini istriku pinta, tetapi aku tidak pernah tega. Aku tahu benar, kondisi keluarga Kang Parman jauh lebih buruk dari keluargaku.

“Aku sudah coba tawarkan televisi di rumah, tetapi nggak ada yang mau beli,” lanjut Kang Parman.

Kami berdua terkekeh, mentertawakan kondisi kami yang sama-sama melarat. Televisi yang menjadi satu-satunya barang elektronik di rumah Kang Parman itu adalah televisi model tabung yang sering mengeluarkan bunyi gemerusuk setiap kali dinyalakan. Aku sendiri tidak bisa membayangkan siapa yang berminat untuk membeli televisi yang sudah usang dan ketinggalan zaman.

Aku sendiri baru di-PHK sebulan lalu. Selama ini, aku bertahan hidup dengan sisa-sisa uang di tabungan serta kerja serabutan. Usaha istriku pun kian lama kian sepi pembeli. Di masa sulit seperti ini, orang-orang lebih mengisi perut daripada membeli baju baru yang hanya mereka pakai sesekali.

“Apa nggak bisa Kakang usahakan?” tanyaku dengan ekspresi memohon.

Anak sulungku sebentar lagi akan masuk SD. Istriku bersikeras untuk menyekolahkannya di SD swasta karena tidak ingin anak kami bergaul dengan anak-anak desa yang nakal di SD negeri kampung kami. Tabunganku tidak cukup untuk membayar uang gedung, makanya terpaksa kutagih sebagian uang yang dipinjam Kang Parman.

“Aku sudah coba berbagai cara, Mat. Tadi, aku sampai keliling jauh untuk cari pembeli. Ternyata sia-sia. Orang-orang sekarang lebih suka pakai blender, nggak perlu repot ngulek.” Kang Parman menghela napas panjang. Wajahnya terlihat semakin redup seiring dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya. “Aku sudah coba cari pinjaman lain, tetapi nggak ada lagi yang mau minjemin uang ke tukang ngutang seperti aku.”

Kang Parman tertawa getir, sementara aku lagi-lagi hanya bisa memaksakan diri tersenyum. Kebiasaan Kang Parman yang sering gali lubang tutup lubang memang sudah menjadi buah bibir para tetangga. Istriku sudah berulang kali memperingatkan agar aku tidak usah meminjamkan uang lagi kepadanya, tapi aku selalu tidak tega setiap kali pria itu datang dan mengeluhkan beras yang habis atau kondisi istrinya yang tidak kunjung sembuh.

“Kakang sudah coba pinjam ke Hilman?”

Raut wajah pria itu sontak berubah ketika kusebut nama adik lelakinya. Beberapa tahun lalu, Kang Parman bertengkar hebat dengan Hilman karena masalah warisan. Meski bukan berasal dari keluarga kaya, orang tua mereka memiliki sepetak tanah yang biasa ditanami singkong dan sayur-mayur. Selama ada tanah itu, Kang Parman tidak perlu bingung masalah makan. Sayang, hanya berselang tiga hari sejak ayah mereka meninggal, Hilman datang membawa calon pembeli.

Kang Parman menentang keras usulan itu, Hilman pun menuduh Kang Parman hendak menguasai warisan itu sendiri. Pertengkaran mereka berdua sempat menjadi tontonan. Tidak ada yang menyangka pemuda sopan seperti Hilman dapat berubah kurang ajar seperti itu ketika sudah menjadi orang berada.

Meski dengan berat hati, Kang Parman akhirnya mengalah. Tanah itu dijual dan dia hanya mendapat sedikit bagian. Hilman merasa berhak atas bagian yang lebih besar karena telah keluar banyak biaya untuk merawat ayah mereka. Setelah itu, Hilman tidak pernah lagi datang. Berdasarkan cerita Yu Romlah, kedua kakak beradik itu tidak lagi saling bicara. Entahlah, mungkin hati Hilman telah menjelma sekeras cobek-cobek batu yang dijual Kang Parman.

“Aku dengar, toko sembakonya cukup ramai. Mungkin dia bisa bantu,” lanjutku.

Rahang Kang Parman mengeras. Kedua mata yang tadi terlihat lelah itu kini membara. “Sampai kapanpun, aku nggak akan minta bantuan dia, Mat. Aku masih sakit hati dengan kata-katanya dulu. Dia nggak cuma menghina aku dan istriku, tapi juga orang tua kami, Mat.”

Aku menelan ludah, sedikit menyesal karena membawa nama Hilman ke pembicaraan.

“Aku banting tulang buat nyekolahin dia, bahkan dulu aku sampai rela jual motor buat modal dia merantau. Kamu tahu kan, Mat, gimana sayangnya aku dengan motor itu dulu?”

Kusimpul senyum sebagai jawaban. Kang Parman selalu memulai ceritanya dengan kalimat dan pertanyaan yang sama. Saking seringnya dia bercerita, aku sudah hafal setiap bagiannya. Namun, kubiarkan saja dia lanjut bercerita, mungkin dengan begitu beban di pundaknya dapat terasa sedikit lebih ringan. Lagi pula, aku sendiri yang salah karena sudah menyebut-nyebut nama Hilman di depannya.

“Memang, selama Bapak sakit, aku sering minta kiriman uang dari Hilman. Karena terpaksa, Mat, bukan karena ingin menjadikannya sebagai sapi perah. Nggak mungkin juga, kan, aku biarkan Bapak menjerit-jerit kesakitan tiap malam? Kalau aku punya uang, nggak mungkin aku sampai minta Hilman.

“Aku nggak nyangka Hilman akan jadi orang yang perhitungan seperti itu. Saat kami bertengkar waktu itu, dirincinya semua biaya yang dia keluarkan untuk Bapak. Nota-nota yang masih dia simpan itu dilemparkannya ke mukaku, Mat. Dia pikir, dia sudah melunasi utang budinya hanya dengan uang tiga puluh juta itu. Malah, dia menganggap akulah yang ganti berutang ke dia, karena uang yang dia kirim ke aku dua kali lipat lebih banyak dari yang pernah aku kasih ke dia.

“Lalu, ketika aku nggak setuju dia jual tanah, dia malah nuduh aku mau kuasain tanah itu sendiri. Padahal, sudah coba aku jelaskan ke dia, apa pun hasil yang kudapat dari tanah itu, akan kubagi dua dengan dia, nggak perlu hitung upahku ngelola tanah. Tapi, dia justru semakin menjadi-jadi merendahkanku. Mungkin hasil tanah itu memang nggak seberapa buat dia, tapi tanah itu berarti banyak buatku, Mat.”

Kang Parman terbatuk sambil mengusap matanya yang mulai berair. Ritme napasnya yang sedikit tersendat menyiratkan betapa kuat gelombang emosi yang tengah menghantam dadanya. Kami sudah saling mengenal selama lebih dua puluh tahun. Meski Kang Parman seringkali berkata betapa bencinya dia pada Hilman, aku yakin ia sebenarnya sangat merindukan adiknya itu.

“Ah, sepertinya aku terkena flu.” Dia beralasan. Jemarinya memijit pangkal hidung, berusaha menyembunyikan tangis yang lolos dari bendungan matanya.

“Mau kuseduhkan teh, Kang?” tawarku.

“Nggak perlu, Mat. Aku mau langsung pulang saja.” Dia menggeleng pelan. “Maaf, aku belum bisa bayar utang hari ini. Besok, aku akan coba ke pasar, siapa tahu aku bisa dapat sedikit upah di sana.”

Kedua mata itu menatapku dengan pandangan mengiba. Aku menjadi merasa bersalah kepadanya.

“Jangan terlalu dipikirkan, Kang. Kalau memang belum ada uang, bayarlah kapan-kapan saja.”

Aku tahu istriku yang sedang menguping di balik dinding habis ini akan mengomel dan menentang keputusanku, tetapi wajah lelah Kang Parman membuatku tidak tega. Meski kami tidak bertalian darah, kami telah lama bersahabat. Dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Aku pun merasa, terutama sejak hubungannya dengan Hilman memburuk, dia juga menganggapku layaknya saudara.

“Terima kasih, Mat. Tapi, aku akan tetap mengusahakannya.” Dia berjanji kepadaku. “Terima kasih juga sudah mendengar keluhanku, Mat. Kamu dan keluargamu sudah begitu baik. Dibandingkan Hilman, aku merasa kamu lebih pantas kusebut saudara.”

Kang Parman bangkit berdiri. Tangan kurusnya meraih bilah bambu yang tadi dia sandarkan ke dinding.

“Aku pulang dulu, Mat.”

“Tunggu sebentar, Kang,” cegahku. Tanpa menunggu jawabannya, aku buru-buru masuk ke rumah dan langsung menuju dapur. Kuabaikan wajah cemberut istriku yang sedang duduk di ruang tengah.

“Kang!” protes istriku ketika melihatku membawa sekantong plastik berisi secangkir beras. “Kita sendiri nyaris nggak punya uang buat beli beras!”

Aku mengibaskan tangan ke samping untuk memintanya diam, lalu bergegas menemui Kang Parman di teras. Pria itu telah berdiri dengan bilah bambu bertengger di pundaknya. Ikatan cobek-cobek batu yang menjadi dagangan Kang Parman bergelantungan di kedua ujung bambu.

“Maaf, aku cuma bisa kasih segini, Kang,” ucapku sembari menyelipkan kantong plastik itu di atas salah satu tumpukan cobek batunya.

“Ya ampun, Mat. Aku nggak mau nambah utang.”

“Ini bukan utang, Kang. Ini hadiah.” Aku menepuk lengan Kang Parman, lalu bergegas masuk rumah. Kubiarkan Kang Parman pulang tanpa sempat mengucap terima kasih, supaya dia tidak perlu menahan tangis di hadapanku.

 

[Cerpen] oleh: Amela Erliana



There are no comments

Add yours