cover_surat untuk ibu

Untuk Ibu yang selalu dicemburui oleh malaikat

Bintaro,12 Februari 2019
Untuk Ibu yang selalu dicemburui oleh malaikat,
Di Yogyakarta

 

Selamat sore, Selamat menanti senja Bu,

Tiada pernah aku berhenti cemburu kepada senja Yogyakarta yang selalu berhasil menjadi hal yang selalu kau tunggu. Hendak aku bertanya apakah sore di Yogyakarta masih indah? Aku mulai rindu dengan jingga yang semakin lama semakin berani mengusir matahari dari ufuk barat. Dia sangat berani meski pada akhirnya ia pun lenyap terseret malam. Aku juga rindu dengan burung-burung dan pohon-pohon yang menjelma siluet padahal mereka asli, bukan sekedar bayangan. Tidak ada yang palsu, tidak ada yang ditutup-tutupi. Di sini rasanya aneh Bu, terlalu bising saat aku kesepian dan terlalu sepi saat aku ingin tertawa. Terlalu asing untuk saling bertegur sapa dan terlalu dekat untuk sama-sama mengabaikan. Semuanya keterlaluan.

Bu, aku ingin pulang, aku ingin bertanya perihal bagaimana orang jaman dulu saling jatuh cinta. Apa beberapa di antara mereka ada yang kisahnya menyedihkan? –aku tidak berbicara tentang betapa sedihnya Siti Nur Baya— Misalnya dibiarkan begitu saja terombang-ambing pada perahu tak bernahkoda, tidak ada kepastian akan selamat, tidak tahu juga mau ke arah mana. Akhirnya ia putuskan untuk melompat saja, berenang semampunya sambil berdoa agar ditemukan oleh Poseidon lalu dijodohkan dengan putra mahkotanya, atau meminta Poseidon merubahnya menjadi buih. Setidaknya itu lebih baik daripada menunggu Si Nahkoda menjemputnya. Jika Ibu mengalami keadaan itu, pilihan mana yang Ibu pilih? Atau Ibu punya pilihan lain? Memancing ribuan ikan lalu menjadi kaya misalnya? (Poseidon itu penguasa laut, Bu)

Ibu, Ibuku tersayang. Aku ingin pulang, tapi aku takut. Takut akan Yogyakarta yang tak seindah terakhir kali aku meninggalkannya. Takut akan diriku yang ternyata sudah lagi tak ada di sana. Banyak rindu yang ingin bertemu, juga banyak luka yang siap kembali terbuka. Ibu tahu tidak? Terkadang kerinduan Ibu sampai kepadaku. Suatu hari hujan mengetuk pintu kamar kos dan memecah tetes-tetesannya menjadi lantunan doa yang kerap kau panjatkan– benar aku berbohong karena sesungguhnya tak ku dengar betul doa itu—bahwa Ibu rindu. Tapi tak luput juga beberapa tangis mampir ke sela-sela jendelaku, diam-diam menyelinap dan menyampaikan dinginnya kesendirian juga getirnya kehidupan.

Kamusku tertinggal di rumah Bu, jadi aku tidak punya banyak kata di sini, selain yang ada dalam saku dan sedikit tambahan kata setelah mencuri beberapa lembar dari kamus yang ada di perpustakaan. Tidak, aku tidak merobek kamusnya, hanya mencuri dengan menghafal kata dan pengertiannya. Besok jika aku sudah membaca lebih banyak buku, cerita, dan puisi, aku akan mengirim surat ditambah puisi. Aku tahu Ibu suka sinetron, jadi akan ku ceritakan hal yang lebih tragis dari kecelakaan atau perselingkuhan di sinetron. Jangan lupa surat di balas ya, tak payah kau balas dengan secarik surat juga. Doamu adalah balasan terbaik untuk surat-suratku.

 

Putrimu,
Dwi Retno Wati