Kepada Ibu yang selalu dicemburui oleh malaikat (2)

Bengkulu, 10 November 2022
Kepada Ibu yang selalu dicemburui oleh malaikat
Di Yogyakarta

Bu, aku harap sehat, bagas, dan waras selalu mampir mengetuk rumah ibu setiap pagi untuk menyapamu, ia baru akan pulang ketika kau terlelap dengan menyelipkan secarik kertas yang menyampaikan bahwa ia akan kembali lagi esokhari, dan begitu seterusnya. Bu, terakhir kali aku menulis adalah si remaja perempuan yang masih dibingungkan oleh waktu dan keadaan tentang bagaimana ujung kisah cintanya. Waktu itu keputusasaannya membuatnya berharap Poseidon akan menemukannya tenggelam dan menjadikannya buih. Kini aku kembali Bu, tiga tahun setelahnya dengan permasalahan yang sedikit berbeda. Meski begitu, bolehkah aku bertanya lagi apakah senja di Yogyakarta masih indah, Bu? Apakah senja di sana masih menjadi senja yang selalu kau tunggu di belakang rumah? Apakah hujan di Yogyakarta masih menjadi hujan yang sangat membahagiakan? Di sini cukup aneh, Bu. Tapi aku tak lagi terlalu takut untuk mendekat saat dunia terasa asing, dan aku belajar untuk tidak saling mengabaikan. Tapi rasa-rasanya tidak saling mengabaikan pun salah, Bu. Semuanya salah kaprah.

Ketika sampai di Bengkulu, aku berpikir bahwa romantisme yang Yogyakarta ciptakan perihal jalanan yang basahdi malam hari akibat hujan tak akan pernah punya pesaing. Tapi ternyata Bengkulu memiliki ceritanya sendiri. Jalanan basah dan hujan yang jatuh bukanlah tentang Asmaradhana atau kerinduan dan duka seorang pemuda. Ia lebih menunjukkan petrikor dirinya sebagai penghiburan hati yang bersedih dan pelengkap kesendirian. Ia seperti melodi pelengkap bahwa sedihku harus dituntaskan dan diselesaikan malam ini. Sebisa mungkin kami berdua menahan mimik dan semua akan terlihat baik-baik saja. Kira-kira begitulah cara dunia bekerja bukan? Banyak yang mengatakan untuk membiarkan dunia bekerja dengan sendirinya ketika merasa sedang tak dibela, tapi kadang aku lupa jika dunia bekerja bukan hanya untukku saja. Hujan di Bengkulu memeluk erat kesendirianku, temaramku malam ini, sungguh padam dengan sangat sempurna. Di setiap epilog rinainya, aku berujung pada kesimpulan, aku milikku sendiri.

Bu, aku menceritakan ini bukan untuk membuatmu khawatir, aku baik-baik saja, karena aku punya seorang teman yang sangat ajaib. Aku katakan ajaib karena ia selalu berhasil mengubah rasa sedihku yang menggunung menjadi letupan-letupan kecil kewajaran yang manusiawi. Ia sangat terampil menciptakan kembali lengkung bulan sabit kecil diujung kelopak bibir yang masih rapat, ku rasa tak hanya aku, tapi kepada semua orang yang mengenalnya. Saat aku bercerita tentang duka ku yang berpalung, ia mengatakan bahwa kebahagiaan bukan suatu hal yang aku cari atau sesuatu yang aku ciptakan. Bahagia itu jika aku sudah bisa memaklumi kesedihanku. Ia mengatakan bahwa ini bukan tentang bagaimana kamu mencari sebuah penghiburan atas rasa sedih, tapi ini tentang bagaimana aku bisa menoleransi rasa sedihku. Di perputaran dunia ini, bahagia itu sementara, maka sedih pun seharusnya begitu juga. Aku tidak menyangka bahwa kalimat “menoleransi kesedihan” bisa menjadi suatu sihir ajaib yang berdampak luar biasa hebat untukku. Aku sangat bersyukur karena Tuhan dengan caranya yang sangat cantik sengaja mempertemukan aku dengannya. Lucunya, meski sudah terbilang dekat, kami belum diberi kesempatan untuk saling menjatuhkan bayangan kami pada retina kami masing-masing. Jujur, aku bertanya-tanya tentang kejutan apalagi yang sedang direncakan Tuhan dalam skenarionya mempertemukan kami di tempat dan keadaan yang sangat sempurna. Bu, aku mohon doamu -kerena aku percaya doamu bisa melangit dengan cepat menuju pintu antrian doa- agar kelak temanku ini bisa bertemu wanita luar biasa yang benar- benar mencintainya, sebab aku tak akan pernah bisa. Doakan juga aku bisa tetap berdiri tegak ketika suatu saat tak lagi bisa berdampingan dengannya selayaknya saat ini.

Semua orang tahu, Bu. Aku menulis kepadamu karena aku sendiri sangat paham bahwa cerita-cerita ini tak akan pernah menggetarkan gendang telingamu. Jarak yang tak pernah bisa diukur itu terlanjur membentang dan berkelok-kelok jika tahu bahwa kau adalah tujuanku. Maaf, karena aku tak bisa selugas putri-putri lain menceritakan perjalanannya kepadamu. Maaf karena aku tak pernah menemukan bahasaku untukmu. Semoga Ibuku satu-satunya ini tidak pernah meragukan betapa putrinya -yang teramat jauh- sangat mencintai dan merindukan masakannya. Semoga bahagia selalu mengiringi langkahmu. Tersenyumlah, karena kau sangat cantik.

 

Putrimu,
Dwi Retno