tidak-mudik

Pelarangan mudik, sebuah larangan suci untuk Insan Perbendaharaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa Pandemi COVID-19 telah mempengaruhi segala aspek dalam kehidupan kita. Bekerja, belajar, beribadah, dan segala hal lain yang kita kerjakan rutin dan menjadi tradisi turut terpengaruh. Pandemi COVID-19 memaksa kita untuk melakukan improvisasi dalam segala bidang, memaksa kita untuk dapat melakukan hal ekstra untuk dapat menanggulangi pandemi ini, dan memaksa kita untuk melakukan penyesuaian terhadap tradisi dan rutinitas yang kita lakukan. Tidak terkecuali tradisi mudik pada saat hari raya Idul Fitri.

Hari Raya Idul Fitri selalu identik dengan kumpul keluarga, selalu identik dengan sebuah aktivitas yang bernama mudik. Mudik biasa dilakukan beberapa hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Mudik dapat menjadi sangat penting bagi semua masyarakat yang merantau, mencari rezeki di luar kota. Mudik di Hari Raya Idul Fitri juga menjadi sesuatu yang berharga, karena pada kesempatan itulah masyarakat rantau dapat berkumpul dengan orang tua, anak dan istri, sepupu, dan saudara yang lain.

Sebagai masyarakat rantau, Saya yakin, semua Insan Perbendaharaan juga mengidam-idamkan untuk melakukan mudik. Terlebih, Insan Perbendaharaan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mengabdi kepada Bangsa, menjaga pundi-pundi uang Negara demi tercapainya APBN yang efisien, efektif, dan akuntabel. Saya pribadi sejak tahun 2014 ditempatkan di Buntok sampai dengan 2017 ditempatkan di Palangka Raya selalu melakukan tradisi mudik setiap tahun, sampai dengan larangan mudik keluar akibat adanya pandemi COVID-19.

Cerita ini merupakan pengalaman pribadi Penulis, yang ingin membagikan kepada teman-teman semua bagaimana pengalaman Penulis ketika mendengar mudik dilarang pada tahun 2020, bagaimana perjuangan Penulis dengan segala kerinduan kepada anak dan istri dan kepada orang tua, bagaimana pengalaman Penulis berjuang menahan kerinduan disamping harus melayani satker sebagai seorang Customer Service Officer (CSO) pada KPPN Palangka Raya. Terlebih, Penulis merupakan anak tunggal yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Orang Tua Penulis. Di samping itu, CSO merupakan ‘wajah’ sebuah pelayanan. Ketika wajah itu menunjukkan sesuatu yang indah, disitulah seluruh bagian di KPPN itu akan indah. Sebaliknya, ketika wajah itu tidak indah dipandang, maka seluruh bagian di KPPN menjadi tidak indah.

Tahun 2020 merupakan tahun yang dapat dikatakan tahun yang paling berat bagi Penulis. Tahun 2020 merupakan cobaan yang paling berat bagi Penulis dalam menjalani kehidupan. Mengapa? Karena pada tahun 2020 tradisi yang biasa Penulis lakukan yaitu mudik di hari raya tidak dapat dilakukan. Mudik bagi Penulis tidak hanya sebuah tradisi, namun juga sebuah kebutuhan bagi Penulis untuk bersilaturahim kepada anak dan istri, orang tua, dan saudara lain. Selain itu, mudik bagi Penulis merupakan sarana perbaikan gizi, karena dengan mudik Penulis dapat makan makanan yang Penulis sangat suka, masakan istri dan masakan orang tua seolah berpadu laksana antibiotik yang membunuh bakteri-bakteri kangen yang tertumpuk sejak satu tahun ke belakang.

Penulis adalah salah satu insan perbendaharaan yang bertugas di KPPN Palangka Raya dan ditempatkan di seksi Manajemen Satker dan Kepatuhan Internal sebagai seorang CSO. Penulis menjadi CSO sejak tahun 2017 akhir sampai dengan 2020. Menjadi seorang CSO mungkin tidak seberat menjadi petugas penerima SPM, ataupun menjadi petugas Laporan Keuangan yang mengawasi laporan keuangan satuan kerja (satker). Namun, menjadi seorang CSO bukan tugas yang mudah. Menjadi seorang CSO selain harus mampu menguasai atau setidaknya tahu tugas dan fungsi dari masing-masing seksi dan mampu menyelesaikan semua permasalahan satker, namun juga mengelola emosi agar emosi pribadi tidak bercampur dengan tugas. Sehingga melayani satker tidak terpengaruh dan tetap memberikan pelayanan yang prima. Menurut Penulis, tugas seorang CSO yang terberat adalah tugas yang kedua, yaitu mengelola emosi. Bagaimana agar emosi yang dirasakan secara pribadi, tidak keluar kepada satker. Seorang CSO adalah ‘pelayan’. Seperti yang kita ketahui bersama, seorang pelayan harus tetap memberikan pelayanan yang baik, apapun kondisinya, sebagaimanapun berat permasalahannya, seberapapun ‘ngeselin’ orang yang kita layani. Terlebih lagi seorang CSO membawa bendera instansi besar yaitu Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

Pengalaman tidak mudik ini membawa dampak besar bagi seorang CSO di KPPN Palangka Raya. Rasa kangen yang bertumpuk terhadap keluarga, yang seharusnya dapat diobati sedikit dengan mudik. Namun, dengan diinstruksikannya tidak mudik oleh Pemerintah, Penulis seolah kehilangan arah pada saat itu. Jujur saja saat melayani satker pada saat itu, Penulis sempat terpengaruh, dengan memberikan nada tinggi saat memberikan penjelasan di mana satker tidak paham-paham saat itu. Pada saat itu, Penulis sempat pamit ke belakang untuk mencuci muka dan berpikir “yang tidak mudik bukan Cuma saya, namun semua pegawai perantau tidak mudik, saya tidak sendiri, saya insan perbendaharaan, saya punya misi menjaga penyaluran APBN untuk tetap sesuai jalur, saya memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi satker, ayo diriku…yang tabah dan sabar, Insyaa Allah ini membawa hasil yang baik dan bernilai ibadah”. Setelah mencuci muka ini, Penulis kembali ke meja CSO dan meminta maaf kepada satker yang bersangkutan dan melanjutkan penyelesaian konsultasi. Sejak hari itu, Penulis merasa bahwa mengelola emosi tidaklah mudah, apalagi menjaga agar emosi pribadi tidak bercampur ke masalah pekerjaan terlebih sampai mencederai nilai-nilai Kementerian Keuangan dan Program Budaya DJPb. Sejak hari itu, setiap emosi Penulis memuncak dan hampir meledak, Penulis pergi untuk mencuci muka dan berbicara dengan atasan langsung dan pimpinan di KPPN Palangka Raya.

Penulis merasa sangat beruntung memiliki teman-teman yang sangat supportive, atasan-atasan yang dapat dijadikan orang tua oleh Penulis. Penulis sangat mengapresiasi seorang Kepala KPPN Palangka Raya yang sangat bisa dijadikan contoh teladan yang baik dan sangat bisa dijadikan figur orang tua. Pada saat larangan mudik keluar, beliau lah yang mengikrarkan pertama kali bahwa beliau tidak akan mudik dan beliau benar-benar komitmen menjaga bahwa beliau tidak mudik. Beliau mengatakan bahwa sekarang sedang pandemi, demi menjaga keluarga kita mari kita tidak mudik. Kata-kata ‘menjaga keluarga’ menjadi tamparan bagi Penulis. Penulis tiba-tiba teringat kasus COVID-19 yang terus-terusan meningkat. Bagaimana angka kematian lansia meningkat tajam di tahun 2020. Penulis langsung tersadar bahwa larangan mudik adalah bentuk perhatian pemerintah kepada rakyat, khususnya kami Insan Perbendaharaan untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga kami di rumah. Menjamin bahwa kami dapat bertemu dengan keluarga kami pada kesempatan-kesempatan lain. Karena ketika mudik, kami berpotensi membawa virus COVID-19 dan menularkan ke orangtua, anak, dan istri. Selain itu, hal yang Penulis syukuri adalah teman-teman yang memiliki kesedihan yang sama berkumpul untuk mengobati kerinduan dengan keluarga. Mengadakan acara makan bareng dan memasak masakan yang biasa dimasak di rumah keluarga di daerahnya. Setidaknya untuk mengobati kerinduan dengan keluarga kami.

Itulah sedikit pengalaman Penulis, Penulis sebenarnya banyak pengalaman terkait hal dilarang mudik ini, namun Penulis tidak sanggup menuliskan lagi, karena pada saat menulis ini, Penulis sempat meneteskan air mata sedikit, karena begitu terasanya bagi kami para insan perbendaharaan ketika mudik dilarang. Di saat mudik menjadi sebuah obat bagi kami namun dilarang melakukan mudik. Namun Penulis menyadari bahwa pelarangan mudik ini merupakan wujud perhatian pemerintah kepada kami demi menjaga keluarga kami. Ibarat seorang anak yang ingin bermain di pinggir sungai yang arusnya deras namun dilarang oleh orang tuanya bahkan sampai dimarahi dan dipukul. Ketika dilarang, seorang anak akan menangis sedih karena tidak dapat bermain di sungai. Namun, orang tua mengkhawatirkan anak tersebut apabila hanyut di sungai akibat bermain di pinggir sungai. Pelarangan mudik menurut Penulis merupakan ‘pelarangan yang suci’, ibarat orang tua memarahi anaknya yaitu sebuah ‘marah yang suci’. Pemerintah semata-mata melarang mudik demi menjaga agar kita dapat berkumpul dengan keluarga kita untuk hari-hari selanjutnya.

Seyogyanya pegawai insan perbendaharaan harus mengerti larangan pemerintah terkait pelarangan mudik. Pelarangan mudik ini memiliki maksud dan tujuan yang baik. Insan Perbendaharaan adalah pegawai yang tahan banting, pegawai yang kuat untuk memastikan bahwa APBN disalurkan secara efektif dan efisien di daerah. Indonesia membutuhkan Insan Perbendaharaan untuk menjaga keuangannya.

Terakhir, Penulis ingin menyampaikan bahwa larangan mudik ini bukan sebuah kejelekan, bukan sebuah keburukan. Larangan mudik ini ibarat marahnya orang tua terhadap anak. Marah yang suci demi menjaga anaknya agar tetap hidup dan berkembang dengan baik. Untuk Insan Perbendaharaan, Penulis berharap dapat menjadi anak yang baik yang selaku nurut dengan orang tuanya. Tidak mudik??tidak apa-apa…demi Insan Perbendaharaan yang sehat, Indonesia Kuat.



There are no comments

Add yours