cover

Bencana Korupsi

“Di, ini ada info lomba bikin puisi tentang anti korupsi. Sudah tau infonya belum?”

Tiba-tiba teriakan Anto memecah kesunyian dalam ruangan.

Andi yang disebut namanya terkaget, tersadar dari lamunannya.

“Apa sih. Ngagetin aja!” seru Andi menyahut.

“Ini lho, ada lomba bikin puisi tentang anti korupsi dari Kemenkeu dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia.”

Deadline-nya akhir November ini. Ikut yuk. Lu kan jago juga bikin puisi.”

“Kita saingan lagi, siapa di antara kita yang lebih jago bikin puisi.”

Anto mendekati Andi sambil tersenyum menyeringai.

“Ah, males.”

Andi menanggapinya dingin.

“Ya, udah kalau gak mau.

Berarti berkurang satu nih saingan gue. Terima kasih, ya.”

Anto beringsut menjauhi Andi yang terlihat serius memandangi layar monitor PC-nya.

Andi dan Anto adalah rekan sekantor di salah satu unit vertikal instansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan di Jakarta. Keduanya memiliki kelebihan kemampuan dalam bidang sastra, sesuatu hal yang tidak berkaitan langsung dengan urusan keuangan negara.

Penampilan Anto memang layaknya seorang seniman, yang dalam berpakaian kurang rapi dan tampilan rambut kurang terurus. Jadi tak mengherankan, jika orang yang belum kenal menyangsikan dirinya sebagai seorang ASN Kementerian Keuangan. Sedangkan Andi sebaliknya, justru orang lain tak menyangka bahwa orang dengan penampilan rapi sepertinya memiliki jiwa seni yang tinggi.

Entah kenapa, keduanya kini dipertemukan kembali dalam gedung kantor yang sama meskipun pada bagian dan ruangan yang berbeda. Takdir juga yang akhirnya mempertemukan mereka, dengan terbitnya SK Mutasi enam bulan yang lalu. Pertemuan pertama mereka adalah ketika penganugerahan penghargaan kepada para pemenang dan finalis lomba menulis puisi lingkup Kementerian Keuangan, dua tahun lalu. Andi mendapat prestasi juara kedua, sedangkan Anto juara ketiga. Saat itu mereka berasal dari kantor yang berbeda, Andi dari Kanwil DJPb Provinsi Sulawesi Tengah sedangkan Anto dari KPPN Magelang.

 

Esok harinya, pagi-pagi Andi menghampiri Anto di ruang kerjanya.

“Bro, kayaknya aku juga mau ikutan lomba itu.” Andi mulai membuka percakapan dengan Anto.

“Kemarin sore, setelah pulang kerja tiba-tiba muncul ide untuk bikin puisi tentang anti korupsi tetapi pembukaannya cerita tentang kejadian bencana alam. Aku kan pernah merasakan bencana gempa yang dahsyat di Palu waktu itu, aku pikir korupsi juga mirip-mirip bencana yang dampaknya merugikan banyak orang.” lanjutnya.

“Bedanya, kalau bencana alam langsung terasa dampak fisiknya kepada masyarakat dan lingkungan sedangkan akibat korupsi mungkin cuma negara yang tahu perhitungan kerugiannya, sementara rakyat yang sesungguhnya menjadi korban malah kurang merasakannya secara langsung.”

“Ide bagus tuh. Gue malah gak pernah kepikiran begitu.” Anto menanggapi dengan cuek.

“Berarti saingan gue batal berkurang satu nih.” lanjutnya.

“Tenang aja Bro, kita main sportif lah. Kalah atau menang, itu mah biasa.” ucap Andi berusaha menyemangati Anto.

Anto masih membuat coretan puisi ketika Andi baru saja meninggalkan ruangannya. Rencananya pagi ini selagi pekerjaan kantor belum mulai disentuhnya, Anto berusaha menuangkan ide puisinya ke selembar kertas. Namun, sampai dengan detik ini belum juga tertulis satu bait pun puisi yang dikehendakinya.

Ide penulisan puisi tentang korupsi masih beredar di lingkaran luar pikiran Anto, belum mampu ditangkap untuk kemudian dituangkannya dalam tulisan.

Kembali ia googling di PC-nya, barangkali ada contoh puisi yang bisa dimodifikasi atau sekadar contoh puisi yang dapat memunculkan ide baru di kepalanya.

Tidak terasa dua jam sudah ia mencari, belum satu pun ide puisi muncul di otaknya.

Pagi itu Anto menyerah. Mungkin dilanjutkan nanti, setelah pekerjaan kantor hari ini diselesaikannya.

 

Tiga hari menjelang deadline pengiriman karya lomba, Andi menemui Anto di ruang kerjanya.

Sorry Bro, aku minta tolong nih. Beberapa hari ini kerjaan kantor full, puisi yang sudah tiga bait mentok belum sempat aku terusin. Di rumah juga sibuk sama anak-anak, padahal aku juga lagi gak enak badan.” keluh Andi kepada Anto.

“Kalau mau, silahkan diterusin deh puisiku, atau dibaca-baca dulu barangkali jadi inspirasi bikin puisi baru.” lanjutnya.

Andi menyodorkan puisinya kepada Anto.

“Iya, Gue baca-baca dulu ya. Berarti Lu gak jadi ikutan lomba nih?” selidik Anto.

“Sebenarnya masih kepingin sih, tapi ide sudah mentok sementara waktunya hampir deadline. Kalau boleh, kita kolaborasi aja. Jadi, bagian depan puisi buatanku, kau bagian penutupnya. Nanti hadiahnya kita bagi dua. Hehehe.” jawab Andi cengengesan.

“Enak aja, usaha sendiri dong.” timpal Anto.

Padahal Anto sampai detik itu juga belum dapat sebait pun ide puisi. Hanya barisan kata puitis yang kemudian dicoret kembali karena kurang sreg di hatinya. Entah sudah berapa lembar kertas berisi coretan yang akhirnya masuk ke keranjang sampah. Anto belum puas.

Meskipun berhari-hari Anto telah membaca beberapa contoh puisi melalui internet dan buku-buku puisi, tetapi belum mampu memunculkan ide penulisan puisi tentang korupsi yang diinginkannya. Bahkan berita tentang korupsi di media cetak maupun daring juga telah dilahapnya beberapa hari ini, sama saja ide itu belum juga mau muncul.

“Aha” tiba-tiba Anto berteriak dalam hati. Ide itu muncul, mengalir deras setelah ia membaca tiga bait puisi karangan Andi.

Wajahnya seketika menjadi cerah. Setelah menghabiskan sisa kopi dalam gelas, segera ia menuliskan beberapa baris kata pada lembaran kertas yang sudah sejak lama tersedia di atas meja kerjanya. Meskipun di atas meja tersedia PC yang bisa digunakan untuk mengetik, tetapi Anto lebih nyaman menuangkan ide puisinya secara manual ke lembaran kertas dengan ballpoin bertinta biru.

Hari pengumuman itu pun tiba.

“Selamat ya, To. Hebat Bro, jadi juara satu.”

Seru Andi kepada Anto sambil menyalaminya.

“Terima kasih.” jawab Anto singkat.

“Tapi curang kau, tiga bait puisiku dipake tapi namaku koq gak disebut sebagai penulis.” gerutu Andi.

“Salah sendiri, katanya Lu gak mau nerusin nulis puisinya.” sahut Anto.

“Oke lah, aku ikhlas koq sebagai teman seperjuangan. Jangan lupa nanti traktir kita-kita ya.” timpal Andi.

“Eh, jangan lupa pekan depan kan penyerahan penghargaannya. Siapin surat tugasnya ke Kantor Pusat ya.” Andi mengingatkan.

“Iya iya.” jawab Anto sambil meneruskan menyeruput kopi panas.

 

KRRIIIINGGG…

Tiba-tiba HP Andi berdering, telepon masuk dari Anto.

“Assalamualaikum To, ada apa ya? Tumben malam-malam nelpon.” Andi mengangkat telepon.

“Wa alaikumussalam, sorry Bro. Gue mau minta tolong nih sama Lu. Perut gue seharian ini bermasalah, mungkin gara-gara habis dimarahin Pak Bos karena beberapa pekerjaan kantor yang terbengkalai. Pak Bos lihat rekaman di CCTV dan ada laporan kalau gue sering lembur bulan lalu, bukannya ngerjain pekerjaan kantor malah ngurusin lomba puisi itu. Kayaknya besok pagi gue gak bisa datang ke acara penyerahan penghargaan di Kantor Pusat. Lu bisa wakilin gak? Tolong ya, Bro.” ujar Anto memelas.

“Nah itu, kualat kau. Mungkin juga gara-gara ngakuin puisi buatanku, hehe. Kau sadar gak, kalau mengambil manfaat dari fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, dan mengabaikan tugas kantor demi kepentingan pribadi juga salah satu bentuk korupsi?” ujar Andi.

“Iya sih, gue ngaku salah. Gimana, Lu bisa wakilin gak?” Anto kembali bertanya.

“Eh, emangnya boleh diwakilin? Bukannya besok juga ada pembacaan puisinya?” Andi balik bertanya.

“Gak apa-apa, boleh koq. Gue tadi udah nelpon panitianya, izin kalau gue gak bisa datang besok. Kata panitianya boleh diwakilin. Lembar puisinya ada di dalam amplop putih, di atas meja gue. Besok pagi sebelum berangkat ke Kantor Pusat, jangan lupa diambil dulu.”

“Oke deh, cepat sembuh ya Bro.”

“Ya. Terima kasih ya, Bro” Anto kemudian menutup teleponnya.

Pagi itu Andi meminta izin kepada atasannya untuk berangkat ke Kantor Pusat, mewakili Anto menerima penghargaan dan membacakan puisinya. Tidak lupa amplop berisi lembaran puisi telah dimasukkan ke saku celananya.

Saat berdiri di atas panggung, Andi mengambil amplop dari dalam sakunya. Perlahan dia buka dan mengambil selembar kertas di dalamnya.

“Assalamualaikum wa rahmatulahi wa barakatuh. Selamat pagi Bapak/Ibu hadirin. Saya di sini mewakili Saudara Anto yang tidak dapat hadir karena sakit.”

Andi mulai menyiapkan pembacaan puisi.

Tiga bait pertama telah dibacanya dengan penuh penghayatan. Memang tiga bait pertama puisi itu dia yang menulisnya. Bahkan dengan mata tertutup pun dia mampu membacakannya.

 

DEGH…

Tiba-tiba jantung Andi serasa berhenti berdetak. Setelah menyelesaikan tiga bait pertama, Andi kebingungan karena lanjutan puisi Anto tidak ditemukannya. Seingatnya ada lima bait puisi yang diumumkan sebagai puisi terbaik. Dia balik lembar kertas itu, berharap ada tulisan lanjutan puisi di sana. Ternyata di halaman belakang lembar kertas tersebut memang tidak ada tulisan apa-apa.

Keringat dingin mulai membasahi wajah Andi.

“Mmm…mohon maaf Bapak/Ibu, saya tidak dapat melanjutkan pembacaan puisi ini karena rasa haru saya atas isi puisi karya Saudara Anto, dan tiba-tiba saya pun teringat Saudara Anto yang sedang sakit. Mohon maaf. Terima kasih.” terbata-bata Andi menutup pembacaan puisi, kemudian turun dari panggung.

Tepuk tangan hadirin mengantar Andi kembali ke tempat duduknya.

Dalam hati Andi berkata,”Kurang ajar kau, Anto. Sudah puisi karyaku kau ambil, hari ini kau coba mempermalukan aku di depan orang banyak. Ternyata mental korupsi bisa juga menjangkiti seniman macam kau. Sudah kantor kau rugikan, aku pun menjadi korban.”

Keesokan harinya, tiba-tiba Andi menerima telpon Anto.

“Maaf ya Di, gue ngaku salah. Semalam gue gak bisa tidur nyenyak, karena mikir lomba puisi itu. Sampai terbawa mimpi buruk juga.”

“Barusan gue sudah menghubungi panitia lomba, supaya membatalkan predikat juara satu lomba yang gue terima. Panitia setuju setelah mendengarkan penjelasanku. Jadi nanti juara keduanya naik peringkat menjadi juara satu, dan seterusnya. Hadiahnya nanti kita balikin ya, karena memang bukan hak gue menerima hadiah itu.”

Andi mendengarkan penjelasan Anto.

“Alhamdulillah, akhirnya sadar juga teman baikku ini” komentar Andi.

“Iya Bro, alhamdulillah. Gue masih diingatkan Allah dengan ujian sakit dan mimpi buruk semalam. Coba kalau gue dibiarin sampai meninggal bawa kesalahan itu, bagaimana pertanggungjawabannya nanti di akhirat ya. Gak bakalan sanggup deh, terima azab karena dosa korupsi dan zalim kepada teman. Maaf ya Bro.”

“OK, gak apa-apa. Yang penting lu sudah sadar atas kesalahan itu. Semoga cepat sembuh ya Bro”

“Aamiin. Terima kasih Bro, badan sudah agak enakan ini. Insyaallah besok bisa masuk kantor.”