Dana Desa di Kawasan Megalitikum Tertua di Indonesia

Ketika sedang dalam perjalanan, saya sering kepikiran, takdir apa yang sampai membuat sampai ditugaskan di Poso, Sulawesi Tengah. Daerah yang tak pernah ada dalam benakku untuk merantau sejauh ini. Terkadang kalau sedang lelah dengan keadaan di perantauan atau kalau sedang balik lagi ke perantauan selepas pulang ke kampung halaman, suka menyalah-nyalahkan keadaan. Mengapa, mengapa, dan mengapa.

Angan memang suka melenceng-melenceng dari realita. Namanya hidup, harus dijalani dengan tulus ikhlas dan penuh syukur, begitu kata Emak, biar berkah dan senantiasa diberi rahmat. Ibarat jalan, kalau lurus-lurus saja malah bikin ngantuk. Tuhan memang menghamparkan rizki seorang hamba di mana pun yang Dia kehendaki. Mungkin seperti saya saat ini. Sepanjang itu halal dan berkah kenapa tidak. Hal yang selalu bikin saya segera sadar dan kembali menemukan semangat dan mulai memikirkan hal-hal terbaik apa yang bisa dilakukan selama di perantauan. Jadi, supaya nanti pada saat pindah, yang ditinggalkan yang baik-baik saja.

Secangkir kopi yang mengakrabkan

Akhirnya saya mulai aktif berkegiatan sosial untuk mengisi waktu selepas bekerja. Selain untuk menambah pertemanan di tanah rantau tetapi juga turut mengenalkan apa itu KPPN dan fungsi perbendaharaan kepada orang-orang sekitar. Dari komunitas baca sampai komunitas kopi. Di sinilah saya belajar, bersosialisasi, dan menemukan kebahagiaan karena mendapat keluarga baru di tanah orang.

Tak heran, dari secangkir kopi saya sering mendapatkan pertanyaan,

“Bekerja di mana Mas?”
“KPPN itu apa?”
“APBN sama APBD itu sama?”

Rasa penasaran teman-teman atau orang yang saya temui di Poso cukup membuat saya merasa semangat karena secara tidak langsung saya turut mengenalkan keuangan negara, setidaknya di lingkungan terdekat saya. Ada yang hanya sekadar obrolan basa-basi tapi ada juga yang sampai ke bahasan serius, tentang alur Dana Desa atau cara mendapatkan pendanaan UMI untuk UMKM. Kalau sudah begini, satu cangkir kopi pun tak cukup. “Mas nambah V60 satu lagi yaa…”

Pengalaman Tak Terduga

Sepandai-pandainya kita menyembunyikan kebosanan, pasti akan mencapai puncaknya. Lima tahun di tempat penugasan, akhirnya saya menemukan titik jenuh, hingga teman saya yang mendapat penugasan di Tanjung Selor, Kalimantan Utara, memberikan sebuah nasihat.

“Saat ini kita hanya perlu menjaga kesehatan kita supaya hidup kita tetap berkualitas, Kesehatan itu pun enggak cuma satu, tapi ada delapan. Pekerjaan, emosional, spiritual, lingkungan, keuangan, fisik, sosial, dan intelektual. Semua dimensi ini saling berhubungan, kalau kita bisa menguasai semuanya dijamin enggak bakalan ngeluh-ngeluh lagi, bahagia terus”.

“Bro, aku suntuk nih, kerja juga jadi enggak semangat. Ajakin escape ke tempat yang belum pernah aku datengin tapi yang tempatnya keren dong”, saya kirim pesan kepada salah satu teman di Poso.

Memang, selama di Poso, berkat saya ikut komunitas, saya sering diajak ke tempat-tempat menakjubkan, yang bahkan warga lokal pun belum pernah ke sana. Sebut saja, Desa Dulumai, desa paling ujung dari Danau Poso, Dusun Taman Jeka, lokasi yang sempat menjadi basis kelompok Santoso. Kepulauan Togean, yang merupakan salah satu spot pemandangan bawah laut terbaik, Padang Napu, padang rumput luas ala lanskap seperti di Finlandia, atau Pulau Sombori, “Raja Ampat”-nya Sulawesi.

“Nah, pas banget torang1 juga lagi butuh piknik. Manjo2 torang ke Bada”. Gayung bersambut.

Imbuhnya, sayang rasanya jika sudah berada di Poso, tetapi tidak menginjakkan kaki di Lembah Bada. Bahkan, bagi warga Poso sendiri, jika ditanya ‘apakah sudah pernah ke sana?’ kebanyakan mungkin akan menjawab belum. Bukan tanpa alasan, selain memang tempatnya jauh dari pusat kota Poso, medan yang dilalui untuk sampai di sana juga membutuhkan usaha ekstra. Gass!

Jejak Megalitikum Tertua di Indonesia!

Jalanan menanjak tajam sangat mendominasi rute perjalanan ke Lembah Bada. Jika memakai motor bergigi atau kopling pasti akan sering menggunakan gigi satu. Jalan ke Lembah Bada sebenarnya sudah bagus beraspal — dulu jelek sekali kata teman saya karena dominan tanah daripada aspal. Mobil pun bisa lewat, hanya yang perlu diwaspadai adalah tanah longsor terlebih musim hujan. Dan hal wajib adalah kendaraan harus dalam kondisi baik dan normal jika mau ke Lembah Bada.

Sepanjang perjalanan saya dibuat betah dengan pemandangan yang eksotis. Jika beruntung kita akan mendapatkan kombinasi langit biru cerah, udara segar dan dingin, flora-flora khas yang tumbuh di dataran 1000 – 3000 mdpl, suara-suara burung yang merdu. Epic!

Setelah mendaki gunung melewati lembah, sampailah di Lembah Bada. Seperti tidak masuk akal, ada perkampungan di tempat ‘tersembunyi’ ini. Saya pikir masyarakatnya akan banyak yang menggunakan pakain adat mereka layaknya suku Badui di Lebak Banten. Tetapi perkampungan di sini tidak beda jauh dengan perkampungan yang ada di dekat perkotaan.

Sinyal telepon sudah ada, bahkan di beberapa rumah menyediakan jasa wifi dengan tarif per jam — ya meskipun tidak sekencang di kota kecepatannya. Listrik akan padam pukul 12.00 hingga 18.00 karena masih menggunakan tenaga diesel. Mungkin sebentar lagi akan ada listrik PLN karena di sepanjang jalan sudah terpancang tiang listrik, meski beberapa sudah ambruk karena longsor.

Ikon wisata Kabupaten Poso berada di Lembah Bada ini yakni, patung Palindo. Patung berukuran sekitar 4,5 meter. Secara bahasa Palindo berarti penghibur. Menarik! Di tengah-tengah padang savana yang luas tiba-tiba ada patung batu megalitikum sebesar ini.

Jumlah patung megalitikum yang berada di Poso ini konon ada ribuan yang tersebar di wilayah Taman Nasional Lore Lindu. Tidak heran menjadi situs megalitikum terbaik di Indonesia dan sedang diusulkan sebagai warisan budaya dunia UNESCO.

Meskipun pembangunan megalitik di Indonesia erat kaitannya dengan pemujaan nenek moyang, namun patung-patung yang ada di Poso ini tidak diketahui secara pasti diperuntukkan untuk apa.

Menguji Adrenalin

Supaya ada sensasi spesial di Lembah Bada, saya memilih malam hari untuk ke patung Palindo. Tidak ada penerangan sama sekali, hanya sorot-sorot lampu motor kami yang berkunjung saja. Dari jalan pun tak terlihat dimana letak patungnya. Hawa dingin dan perasaan penasaran cukup menguji adrenalin. Seperti memasuki pelataran kuburan! Sunyi, gelap, hanya ada suara burung-burung malam. Jika beruntung, milkyway menjadi suguhan langit malam.

Ada beberapa situs yang saya kunjungi selama di Lembah Bada, ada yang mudah dijangkau dengan kendaraan, ada pula yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Baiknya mengeksplor Lembah Bada didampingi dengan warga lokal, jika tidak akan seperti saya, nyasar sampai ban motor selip dengan tanah lumpur, atau tidak menemukan apa-apa — padahal di plang tertulis hanya 500 meter.

Matinuwu! Selamat Datang!

Tak cukup sehari jika ingin mengeksplor Lembah Bada. Tentu sudah sangat mainstream kalau hanya mengunjungi patung Palindo. Hampir semua orang yang ke Lembah Bada pasti ke sini. Melipir ke rumah adat suku Lore, Lembah Bada tepatnya di desa Lengkeka, menjadi pengalaman yang patut dicoba. Di area rumah adat suku Lore ini terdapat tiga bangunan, yang paling familiar adalah rumah Tambi, sebagai bagunan tempat tinggal warga masyarakat. Bangunan ini berstruktur kayu dan bambu, beratap daun rumbia. Bangunan yang berada di area tengah bernama Buho, bangunan semi terbuka sebagai tempat penyimpanan padi. Bangunan yang paling besar bernama Buhunga, digunakan sebagai tempat musyawarah warga.Beruntunglah kami saat singgah ke tempat ini menemui warga yang masih menggunakan baju tradisional suku Lore di kesehariannya.

Jalan yang saya lalui menuju desa ini beberapa sudah beton, beberapa masih susunan batu kerikil. Saya sedikit terhenyak saat di perjalanan, saya melihat spanduk terpancang di ujung jalan beton. “DANA DESA TAHUN 2020 PEMBANGUNAN JALAN BETON”. Di wilayah (yang menurut saya) terpencil ini, Penyaluran Dana Desa sampai di sini. Dalam hati saya tepuk tangan yang sangat gemuruh sembari berharap penggunaan Dana Desa digunakan dengan sebaik-baiknya, agar akses ke daerah ini lebih mudah dan menjadi ikon wisata andalan Kabupaten Poso yang dapat menambah aktivitas-aktivitas ekonomi. Saya berapi-api, ingin kembali ke tempat ini suatu hari nanti dengan geliat ekonomi dan fasilitas wisata yang sudah baik.

“Kawula mung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang sukmo”.

(Lakukan yang kita bisa, setelahnya serahkan kepada Tuhan)

Terkadang, ketika kita tengah bosan dengan rutinitas pekerjaan, kita hanya perlu ke luar sejenak. Menenangkan pikiran. Bercengkerama dengan alam. Kita akan menemukan inspirasi dan semangat lagi menjalani pekerjaan yang kita emban. Ternyata Tuhan mengajarkan kita bersyukur lewat cara-Nya yang luar biasa.

 

Oleh: Fahmi Trisnadi, Setditjen Perbendaharaan
Foto cover: @feri_latief

Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili pandangan organisasi.

 

1 torang: kita
2 manjo: ayo

 
Patung Palindo