Dongeng Mantra-Mantra Bunga Seroja

Dongeng Mantra-Mantra Bunga Seroja

Hujan turun semalam: merayakan

Di meja teras rumah: Beberapa potong lapis legit, seduhan teh tubruk hangat, dan sebuah buku yang terbuka pada halaman ke-19.

Di atas buku: Sebuah kacamata lengkap dengan rantainya tergeletak, menjatuhcintakan pandangan kosongnya kepada sihir kuncup bunga seroja yang sendirian. Binar pantulan sepinya adalah kelapangan hati yang begitu luas membungkus dunia telaga kecil buatan ayah.

Buku itu berkisah tentang seni perjalanan. Catatan kakinya adalah permulaan,

2004:

Lahir dari mimpi, dari cita-cita yang sejak lama tersimpan pada teduhnya arak-arakan awan

-Seroja Namanya-

Tepat di samping telaga: Ada pohon salam tua yang tersengal-sengal ajalnya, setengah mati setengah sekarat. Aku bertanya padanya, “Apa yang kau ketahui tentang kesepian?”

Daun-daun salam itu hampir sepenuhnya kemarau, tapi tanahnya yang basah mengalirkan roh jiwa- jiwa tangguh dan siap bersemi. Akarnya yang sedikit timbul berbisik, “Nak, ini hanya perihal waktu.”

Rupanya pohon salam itu juga telah diguna-guna oleh magis kuncup seroja. Lantas kutanyakan pada seroja itu, “Apa yang kamu ketahui tentang kesunyian?”

Ikan-ikan kecil tiba-tiba bersembunyi, menyebabkan daun yang terbentang selebar ketabahan seorang ibu itu sedikit bergoyang. Ia seakan-akan berprosa mengiringi gelombang air yang terbentuk,

“Seluruh sunyi hanyalah swipoa kehampaan dan waktu, dan aku telah selesai.”

Berani sekali seroja itu berceloteh tentang waktu padahal Sapardi Djoko Damono sendiri berpuisi

“Yang Fana Adalah Waktu”

 

(Denting jam dinding terus bergerak ke kanan. Tik tok tik tok)

 

Cepat saja aku lantangkan padanya, “Hei, Seroja! Apa kau tahu yang disebut keabadian?”

Seketika kelopak seroja itu merekah merah muda dan ia mengucapkan mantra-mantra,

“Telah direstui seluruh hidupku oleh Sang Raja. Lebar daunku adalah tameng agar air tetaplah air, agar putih tetaplah putih, dan agar dusta tetaplah dusta. Batangku adalah tangguh yang militan, mengalirkan ruh kehidupan, menopang amanat Tuhan. Mahkotaku merekah, mewangi, membahagiakan. Aku akan berumur panjang dan dimuliakan. Satu, satu, dua, tiga, lantas memenuhi permukaan telaga. Tiada terusik tujuanku oleh menang dan kalah, aku abadi.”

Sejenak nalarku tertegun, Demi Allah ini bukanlah sihir. Kebenarannya tiada tertandingi. Oh, duhai serojaku, bungaku, kekasihku

Sumpah demi agungnya Rajaku. Seluruhmu adalah mantra-mantra puisi terindah, mimpi tertinggi, dan cita-cita termulia. Perjalanan hidupmu adalah munajat-munajat suci yang paling terpujikan.

Serojaku tak sebatas padma tirta

Serojaku adalah tiupan roh pambangkit jiwa

Menyala sebagai Ditjen Perbendaharaan dan ia bukan lagi sebatas juru bayar

Oleh karena itu, aku minta izin padamu, jadikan aku salah satu utusan pemeliharamu

Aku berdoa pada Sang Cahaya, tolong biarkan serojaku terus berkilauan, berkelap-kelip, bercahaya Agar damai bagi yang menikmatinya, agar berarti bagi yang memilikinya

Aamiin

 

Pembatas buku itu diangkat setelah membalik halaman. Dongeng Serojaku genap jadi dua puluh.

 

 

Bengkulu, 2024