Lost in Papandayan

Di daerah paling selatan kota Bandung, berdiri kokoh sebuah gunung yang selalu diselimuti asap tebal dari kawah belerangnya. Terkenal akan keindahan alam dengan variasi medan yang eksotis. Papandayan, sebuah gunung yang juga dikenal karena aura mistisnya, merupakan salah satu gunung yang ditumbuhi bunga abadi, yaitu bunga edelweiss.

Waktu menunjukkan pukul setengah 8 malam, saya dan Jhon baru saja berangkat menuju lebak bulus menggunakan kopaja. Terlambat pikirku, janji kami untuk bertemu di meeting point pukul setengah 10 terminal Lebak Bulus sedikit molor. Dan benar adanya, kami baru sampai pukul 10. Bersama 3 orang lagi kami berangkat menuju terminal Garut dengan bus Primajasa.

Butuh waktu 5 jam untuk mencapai terminal Garut. Sekitar pukul 2 pagi kami sampai, menunggu terang di masjid sekitar. Udara dingin sudah terasa, memaksa kami mengenakan jaket. Dengan jumlah orang yang tanggung kami berusaha mencari kelompok lain untuk diajak bergabung mencari transport menuju pos perizinan di start point Papandayan. Akhirnya kami mendapati sebuah kelompok berjumlah 5 orang, dengan mengendarai angkot berbau asap. Setengah jam kami bersusah payah bernafas, akhirnya berhenti di Cisurupan untuk solat subuh dahulu dan berganti transport. Dengan menaiki pick up kami pun tertawa ketika mengingat bau angkot yang tak karuan. Kami pun mulai berkenalan satu sama lain walau tak sanggup mengingat semua nama, tapi apalah artinya nama. Salah seorang dari rombongan itu terlihat mirip dengan seorang kawan akrabku, Dhani. Ketika tiba-tiba semua terdiam, seseorang mulai bertanya, “Kantor dimana?.” Kawanku pun menjawab di Slipi, sedangkan orang tersebut dari Pejompongan. Dekat sekali, akhirnya ia bertanya lagi, “Kantor apa?”. BPK dijawab kawanku, tak pelak mereka tertawa terbahak-bahak. Kami pun menangkap maksud mereka bahwa ternya kawanku sekantor dengan orang tersebut. Lepas tawa kami. Mereka adalah senior kami ketika kuliah dahulu, dan orang yang mirip kawanku ternyata adalah abangnya, Utar. Dunia ini sempit pikir kami. Cerita pun mulai mengalir panjang seiring perjalanan. Setengah jam kami tempuh untuk mencapai pos perizinan. Sesampainya disana, kami sarapan dahulu dan packing ulang untuk sharing beban.

Pukul 8, berangkat mendaki, melewati medan yang kering dan bebatuan. Asap tebal mulai tampak, kawah rupanya. Pagi hari memang waktu yang paling tepat untuk melewati medan ini karena asap tak terlalu tebal dan angin belum begitu kencang. Udara kering dengan fisik kami yang kaget karena lama tak mendaki membuat kami beberapa kali istirahat di awal perjalanan. Butuh waktu satu setengah jam untuk mencapai Pondok Selada, tempat kami mendirikan tenda. Terasa aneh untuk pendaki yang sering naik gunung karena baru satu setengah jam sudah harus mendirikan tenda. Ternyata hanya disini sumber air ada sehingga banyak sekali yang mendirikan tenda disini. Kami pun mulai masak untuk membuat minuman hangat sembari istirahat dan makan siang hingga pukul 3.15 sore. Akhirnya kami mulai berjalan menuju puncak dengan membawa daypack.

Kami melewati daerah dengan banyak pohon mati, kering karena abu, Hutan Mati sebutannya. Setelah setengah jam kami mencapai padang edelweiss yang sangat luas, Tegal Alun. Walau tak seindah Surya Kencana tapi cukup memukau kami. Kami bertemu dengan rombongan lain dan berbincang-bincang.

Pukul 4.15 kami mulai berjalan menuju puncak setelah bertanya arah kepada pendaki lain. Melewati lembah dan hutan belantara kami mencoba mencari jalan. Jalan disini tidak terlalu terlihat, mungkin karena tidak banyak pendaki yang sering kemari. Dengan bekal pisau kami mencari jalan. Petunjuk kami adalah pohon yang melintang. Kami tubruk pohon-pohon yang ada untuk mencari jalan. Banyak jalan salah yang kami lalui sehingga kami harus menutup jalan salah tersebut dan memberi tanda. Akhirnya kami menemukan jalan yang benar setelah sekitar setengah jam mencari. Sekitar pukul 5.15 kami sampai di puncak. Belum terlambat untuk melihat matahari tenggelam.

Terbayarkan akhirnya rasa lelah kami, menikmati pemandangan dari puncak sembari menyeruput kopi dan merokok bersama. Tak lupa kami abadikan momen ini dengan foto. Lalu kami pun duduk bersama menikmati roti sembari melihat matahari tenggelam, begitu indah hidup ini. Walau puncak gunung ini kecil namun mampu membuat kami puas.

Terdengar kumandang adzan maghrib ketika kami turun, sebuah kesalahan yang kelak kami sadari. Dengan sedikit berlari kami menuruni puncak supaya tidak terlalu gelap saat kami turun gunung. Hanya butuh setengah jam kaki kami sampai di Tegal Alun. Sembari beristirahat, kami memandangi langit malam penuh bintang. Hanya momen ini yang tak bisa kami abadikan. Begitu indah alam Indonesia ini. Belum pernah kulihat bintang sebanyak ini, luar biasa!! Berat rasanya ketika kami harus beranjak melanjutkan perjalanan menuju camp. Sesampainya di Hutan Mati mulai terasa aura mistis. Dengan tetap berpikir positif kami berjalan. Ketika perjalanan terasa lama seseorang berteriak bahwa kami salah jalur. Kami pun berhenti dan beberapa orang mencari jalur ke depan. Salah ternyata, jalur ke depan menuju ke arah kawah, sedangkan bila dilanjutkan kami bisa mati terpanggang kawah karena gelap. Kami pun berbalik arah dan mencoba mencari jalan. Saya, sebagai sweeper dan leader kami menyusuri jalan-jalan yang ada untuk mencari jalan yang benar. Tak bisa kami temukan, yang kutemukan hanya jalan buntu.

Dengan kondisi lelah dan logistik yang tipis akhirnya leader kami memberi 3 opsi. Opsi pertama yaitu terus mencari jalan sampai ketemu. Opsi kedua mencari jalan dengan batasan waktu. Opsi terakhir berhenti dan membuat api unggun sembari menunggu pagi datang hingga ada pendaki yang datang. Suasana mulai tegang karena di alam bebas hidup kami tergantung keputusan yang kami buat dengan pemikiran yang matang. Akhirnya kami memilih opsi kedua untuk mencari jalan dengan batasan waktu.

Saya dan beberapa orang mulai berbalik arah untuk mencari jalur sementara yang lain menunggu. Jalur buntu yang kembali kutemukan. Kami pun berinisiatif untuk naik kembali dan menyusuri jalan. Waktu terasa begitu lama karena kami mulai bingung. Perdebatan pun tak terelakkan, memori kami mulai kacau karena menyusuri jalan yang sama berulang kali.

Beberapa kali kami berhenti dan berdiskusi untuk menyatukan ingatan, tapi tetap saja salah. Terpikir oleh kami untuk melihat foto jalur yang kami lalui di Hutan Mati tadi. Secercah harapan mulai muncul dan kami berusaha mencari petunjuk, tetap saja salah.

Hingga akhirnya kami berhenti di daerah yang cukup nyaman untuk duduk. Lelah dan hampir putus asa. Air minum yang tinggal sedikit dan makanan telah habis. Kami pun membisu, beberapa orang berdoa, sedangkan saya hanya menghabiskan makanan yang ada dan hanya terdiam karena lelah. Sudah tak sanggup lagi saya berdiskusi.

Akhirnya kami putuskan untuk sekali lagi mencari jalur, jika salah maka kami akan membuat api unggun di tempat itu. Ketika berjalan tak sanggup lagi saya menjadi sweeper. Walau tidak berjalan paling belakang, tapi saya tetap mengawasi kelompok. Tiba-tiba leader kami berteriak untuk berhenti. Dia lalu menyusuri jalan kecil yang tak pernah kami lihat saat pencarian tadi. Tepat di sebelah jalan buntu yang selalu kutemukan tadi. Tiga jam kami tersesat, kehilangan orientasi medan di Hutan Mati.

Jalan itu benar, kami menemukan jalan pulang. Semangat tiba-tiba membara, seakan energi baru mengalir dalam nadi kami entah darimana. Dengan setengah berlari menyusuri jalan itu, kami menemukan sungai yang kami lewati sewaktu mendaki. Kami memutuskan untuk memutari sungai itu karena gelap, dan menemukan tenda kami hanya dalam 10 menit dari Hutan Mati. Jarak yang begitu dekat namun menyita waktu 3 jam untuk menemukannya. Bahagia kami menemukan tenda dan teman-teman kami yang menunggu di sana. Gelak tawa membahana ketika mereka tahu kami tersesat. Tak akan seindah dan seakrab begini jika kami tak seperti ini. Momen ini selalu mebuat kami teringat dan tertawa bersama.
Karena lapar, beberapa orang mulai memasak, sementara saya membuat api unggun agar hangat. Saat semua sudah matang, kami makan bersama dan berkumpul di api unggun. Mencoba menarik kembali memori kami tentang kejadian tadi.

Akhirnya saya pun bersuara, berkata bahwa tadi saya mendengar suara tawa wanita ketika di Hutan Mati. Sebagai pendaki, dilarang membuat panik kelompok. Apapun kejadian yang terjadi, harus disimpan, untuk sementara. Semua pun terdiam membisu. Utar memcah kebisuan dengan berkata mungkin itu suara dari camp. Tapi jarak camp untuk terjangkau suara wanita yang begitu jelas sangat tidak mungkin. Lagipula kelompok kami pria semua.

Entah suara darimana kami pun tak tahu, cerita mistis pun mulai mengalir karena sebenarnya tidak diperbolehkan mendaki atau turun gunung ketika maghrib tiba. Banyak kejadian aneh yang dialami pendaki yang melanjutkan perjalanan di waktu-waktu itu. Dianjurkan untuk berhenti dan beristirahat. Masih beruntung kami dapat selamat, bersyukur kami.

Makin malam pun orang makin berkurang. Masuk ke tenda masing-masing untuk terlelap. Hanya inilah perjalanan aneh yang pernah kualami dari sekian banyak pendakian. Walau begitu sangat melekat di memori. Kami pun tak kapok untuk kembali lagi kemari. Hal inilah yang membuat kami akrab satu sama lain, tertawa bersama mengenang kejadian ini.

Papandayan, gunung penuh misteri dan menyimpan eksotisme alam. Indah dengan medan yang mudah bagi pemula. Jalanan pun cukup bersih dari sampah-sampah yang sering dibuang orang yang tak bertanggungjawab. Namun tetap disarankan untuk membawa teman yang pernah kemari sebagai guide, hehe.

Semua pendakian mengandung resiko. Tak ada pendakian yang semudah membalikkan telapak tangan. Namun mendaki sudah menjadi candu, membuat kami rindu untuk menikmati alam lagi dan lagi. Karena kepuasannya tidak dapat dikisahkan lewat kata, cukup beranikah kamu menghadapinya??
Life is adventure !!!
Selamat Mendaki,
Salam Rimba !!!

Mohamad F. Zulmy “Cumi



There are no comments

Add yours