Separuh Jiwaku Terhenti di Kertajaya, Sang Kereta Bersejarah

Perkenalkan, saya adalah salah satu rombongan PJKA yang masih setia hingga saat ini. Di kala yang lain sudah beralih dengan moda transportasi lain, saya masih tetap setia duduk di bangku yang terkadang harus berdiri tegap sandarannya dan duduk berhadap-hadapan dengan penumpang lain.

Oiya, PJKA adalah istilah ngetrennya para rombongan kereta api, “Pulang Jumat Kembali Ahad”. Bagi beberapa pegawai di Jakarta, mereka lebih nyaman untuk melakukan ritual itu daripada membawa keluarga ke Ibukota. Tentunya akan panjang jawabannya jika ditanya alasan mengapa.

Di antara banyaknya pilihan kereta dari Jakarta menuju tempat tinggal saya di Semarang, ada satu yang saya anggap sangat bersejarah. Bukan karena kelasnya yang eksekutif, sebab justru ini kelas ekonomi. Bahkan saya sangat beruntung di momen tersebut memilih untuk naik itu daripada naik maskapai pesawat.

Pagi itu, Kamis, saya yang sedang di Jakarta mendapat kabar bahwa kondisi Bapak yang semakin tidak stabil. Itu berita yang sangat buruk, tetapi bukan yang pertama kali terjadi. Setiap hari memang saya mendapat kabar begitu dari keluarga yang sedang merawat Bapak di RS Kariadi. Tapi kala itu rasanya berbeda.

Hari Minggu sebelumnya, saya memang berpamitan ke Bapak untuk berangkat Jakarta. Saya katakan karena memang ada pekerjaan jadi harus berangkat. Bapak tidak sedikitpun melarang, bahkan menyuruh berangkat untuk menyelesaikan itu. Padahal saat itu kondisinya sudah sangat lemah.

Sudah berkali-kali saya mengantar Bapak kemoterapi. Tidak jarang, setiap saya pulang Semarang saya tidak pernah langsung ke rumah. Dari stasiun Semarang Tawang dini hari saya langsung menuju RS tempat Bapak dirawat.

Saya pikir Bapak hanya menjalani kemoterapi seperti biasanya kemudian pulang. Tetapi tiga hari terlewati, dari Senin hingga Rabu, Bapak belum diperbolehkan pulang RS. Sampai hari Kamis kala itu, rasanya ada sesuatu yang benar-benar berat.

Bersyukur saya memiliki lingkungan kerja yang sangat supportif. Saya ceritakan kondisi tersebut dan beberapa rekan kantor menyarankan saya untuk pulang temani Bapak saja dulu, bahkan juga atasan langsung saya.

“Kondisi Bapak begitu kenapa malah ditinggal berangkat kerja?” tanyanya.

“Bapak yang nyuruh, Pak. Agar diselesaikan saja dulu urusan kerjaan,” jawabku.

“Kalau gitu bilang ke Bapak, disuruh sama atasan untuk pulang merawat Bapak dulu,” jawab beliau kembali. Ya, saya masih ingat betul dialog tersebut. Hingga saya bertekat tidak akan meninggalkan Bapak sebelum pulang dari RS.

Entah mengapa sepertinya situasi di Semarang semakin memburuk. Kakakku sudah mulai banyak minta doa ke saudara-saudaraku. Tanpa terasa air mataku turun. Sudah sangat kalut pikiran saat itu, saya diminta teman-teman kantor agar segera pulang saja.

“Kalau memang terkendala biaya ingin naik pesawat bilang saja tidak apa-apa nanti kami bantu,” kata atasanku.

Jujur saja memang saat itu saya sedang nyambi kuliah sehingga banyak pengeluaran yang harus ditekan. Untuk sarapan dan makan siang saja, saya sering beli nasi goreng satu bungkus tapi makannya separuh-separuh. Atasan saya yang sering memergoki, jadi tahu betul bagaimana financial saya saat itu.

“Naik kereta saja pak, ini masih ada banyak yang kosong,” begitu jawabku. Sambil benar-benar memastikan kondisi Bapak, saya pilih kereta ekonomi Kertajaya pukul 14.00. Di situlah perjalananku dengan “kereta bersejarah” dimulai.

Pukul 13.00 saya pamitan dengan atasan dan teman-teman untuk berangkat ke stasiun Pasar Senen, Jakarta. Baru sampai di gerbang, kembali sebuah pesan whatsapp masuk dari kakakku kepada para saudara. “Mohon doanya agar Bapak bisa melalui masa sulit ini.”

Hey, bagaimana kondisi Bapak sekarang? Apa saya salah pilih naik kereta? Apakah harusnya saya naik pesawat saja? Hatiku berkecambuk sambil saya memesan ojek online.

Saya pun sampai di stasiun, tiba di ruang tunggu kereta api. Hingga si Kertajaya itu akhirnya datang, saya pandangi rangkaiannya yang mengalir pegitu panjang, gerbong demi gerbong. Yang saya pikirkan kala itu, apakah skenario berikutnya yang akan terjadi di dalam kereta itu nanti. Apakah nanti saya akan menangis di dalamnya. Apakah saya akan kehilangan Bapak di tengah perjalananku dengan Kertajaya. Saya tidak tahu.

Tergenggam erat tiket Kertajaya dalam tanganku yang sudah dingin. Saya masuk dan duduk di tempat sesuai tiket. Sangat kebetulan, tidak ada orang di samping saya duduk. Tetapi, di depan saya persis ada anak-anak yang rewel, menangis sejadi-jadinya. Wah, bakal  nyaingin saya nanti nih.

Tanpa basa basi, ku ambil HPku lalu videocall ke RS. Kakakku yang mengangkat, lalu ku kabarkan saya sudah di kereta menuju Semarang, kira-kira pukul 21.00 baru tiba di RS. Kakak kemudian memutar kameranya, memperlihatkan Bapak yang sudah terbaring sangat lemah, lalu sudah ada dokter dan para perawat di sekelilingnya.

“Mas, Bapak sudah saya suntik dopping untuk jantungnya. Insha Allah jika menunggu Mas sampai, pasti bisa terkejar,” kata Dokter Santoso padaku, spesialis Onkologi, penanganan pasien kanker. Saya jadi akrab dengan istilah asing itu sejak Bapak sakit.

Satu hikmah berhasil saya ambil dari keputusan naik kereta adalah bahwa komunikasi bisa tetap berjalan, tidak seperti pesawat yang harus menonaktifkan perangkat komunikasi. “Pak, tunggu saya sampai sana ya, Pak,” begitu pintaku ke Bapak lewat videocall. Bapak tidak merespon, tapi dari mimik wajahnya mengangguk.

“Saya bacakan Yasin dari kereta, HPnya ditaruh di dekat Bapak ya.”

Lalu sepanjang perjalanan Jakarta ke Semarang, saya membacakan Yasin untuk Bapak via videocall whatsapp, dengan suara yang benar-benar lantang agar terdengar sampai ke sana. Nah, apa tidak malu didengar orang-orang di dalam kereta? Ternyata, suara si anak depan saya itu jauh lebih ribut dan berisik, teriak, menangis, lengkap, masha Allah.. seperti tertolong dari rewelnya bocil itu.

Sekitar pukul 16.00 HP kakak saya mulai lowbat. “Bapak sudah bisa istirahat. Ngajinya istirahat dulu saja, makan dulu,” kata Kakak. Betul juga, saya belum makan dari tadi. Sambil makan di kereta, saya terus memantau perkembangan informasi dari keluarga. Saking lelahnya, saya ketiduran. Sekitar pukul 17.00 saya kembali videocall dan ngaji lagi.

Tak terasa sudah pukul 19.00, sebentar lagi sampai. Insha Allah masih bisa terkejar untuk bertemu Bapak. Saya pun kemudian meminta izin cuti kepada atasan pak Kabu karena mendesak pulang ke Semarang.

“Kereta api Kertajaya telah tiba di Stasiun Semarang Tawang, periksa kembali…” begitu kata narator informasi. Tak sempat saya dengarkan penuh dia bicara, saya langsung keluar dari kereta bergegas menuju RS Kariadi, sambil sayup-sayup terdengar iringan musik “Gambang Semarang” menyambut kedatangan kereta. Alhamdulillah, kereta bersejarah berhasil mengantarkanku bertemu Bapak.

Sesampai di RS, saya cium tangan Bapak. “Pak, insha Allah pasti bisa pulih kembali,” kataku. Sebuah pesan dari pak Kabu pun saya bacakan ke Bapak, “Mas, kami doakan semoga Ayahanda segera diberikan kesembuhan, dan kembali sehat wal’afiat, tutuk momong putro wayah (puas merawat/bercanda putra putri dan cucu2). Aamiin Ya Robb,”

Sebuah doa yang membuat saya sangat terenyuh, sebagai seorang Bapak tentu saja sangat ingin bisa kembali bercanda dengan cucu. Begitu pas dengan keseharian Bapak sebelumnya di kala sehat yang sering bercanda riang dengan cucu.  Bapak pun tersenyum mendengarnya.

Suntikkan ke Bapak terus dilanjutkan setiap delapan jam. Hingga esok hari, Bapak masih bisa bertahan. Beberapa Saudara yang datang membesuk dan ingin pulang bertanya padaku, “Mas naik apa ke RS, bisa numpang sekalian tidak?” Saya jawab sambil bergurau, “Naik kereta api, he he..”

Saya memang sudah bertekat tidak akan meninggalkan Bapak sampai Bapak dibolehkan pulang. Sejak tiba di RS naik Kertajaya hari Kamis malam, saya sama sekali tidak pulang ke rumah. Sampai Bapak akhirnya diperbolehkan pulang di hari Senin pagi. Oleh Allah SWT, Bapak dipanggil kehadirat-Nya.

Begitulah salah satu kisahku yang tak kan pernah terlupakan sebagai PJKA yang saat ini sudah memasuki tahun kelima. Bahkan hingga saat ini, masih tersimpan tiket Kertajaya itu di dalam dompet walau sudah hilang cetakkan tulisannya.

Mungkin saya akan sangat jarang sekali naik Kertajaya sebab jam operasionalnya yang di tengah jam kerja kantor pukul 14.00. Namun justru itulah yang membuat Kertajaya menjadi begitu legendaris bagiku, menjadi kereta bersejarah, sebab dari situlah separuh jiwaku terhenti.

Bapak, semoga lelahku bekerja mengalir menjadi jariyah pahala bagimu, aamiin.

 

Penulis: Dinar Rafikhalif