Sulim Batak

Sulim, atau seruling dalam Bahasa Indonesia, adalah alat musik tiup tradisional suku Batak. Beragam seruling tersebar di seluruh nusantara, seperti saluang di Minangkabau dan suling di Jawa, dengan perbedaan yang memperkaya keindahan. Sulim Batak misalnya, memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dari seruling lainnya.

Seperti seruling pada umumnya, sulim memiliki tujuh lubang, satu untuk tiupan dan enam untuk nada. Para musisi Batak telah menciptakan ratusan lagu dan gondang yang didendangkan dengan merdu melalui sulim.

Alunan sulim Batak terdengar dari Samosir hingga Papua, bahkan Eropa, berkat keunikan telinga orang Batak yang sensitif terhadap musik tradisional. Seni dan adat selalu melekat dalam kehidupan orang Batak, baik di kampung halaman maupun perantauan termasuk di luar negeri sekalipun selalu melekat erat dengan dua hal: seni dan adat.

Sulim juga adaptif terhadap perubahan zaman, mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknik dan lagu. Meskipun alat musik elektronik dapat menirukan suara sulim, bunyi alami sulim tetap unggul. Sulim kini mampu memainkan berbagai lagu dari daerah lain dan bahkan lagu internasional.

Di masa lalu, sulim dibuat berdasarkan ukuran bambu yang nyaman untuk ditiup, tanpa memperhatikan akurasi tangga nada. Nada yang dihasilkan sering kali hanya berdasarkan perasaan pemain sulim, sehingga apa yang terdengar pas di satu kampung bisa terdengar sumbang di kampung sebelah. Kini, pengukuran frekuensi nada pada sulim dilakukan dengan cermat agar alat musik ini dapat berkolaborasi dengan instrumen lain yang memiliki nada yang akurat.

Kini Sulim diproduksi oleh pengrajin dengan bantuan alat garpu tala atau metronome yang tersedia di aplikasi digital. Sehingga frekuensinya dapat diukur dengan cermat agar bisa berkolaborasi dengan instrumen lain yang lebih presisi. Sehingga adaptabilitas sulim terlihat dalam kemampuannya bermain di berbagai kunci nada, seperti C, Dis, D, Es, E, F, Fis, G, As, A, Bes, dan B dengan tepat.

—–

Persepsi terhadap pemain sulim, atau parsulim, telah berubah. Dulu mereka mungkin dianggap rendah, seperti gembala sapi di ladang. Namun kini, kecintaan orang Batak terhadap warisan musik leluhur telah melampaui batasan profesi. Sebagai aparatur sipil negara yang juga pemain sulim, saya menolak pandangan sempit tersebut. Meremehkan sulim menunjukkan ketidakcerdasan.

Mengapa profesi pemain sulim kurang dihargai dibandingkan pemain alat musik tradisional Batak lainnya? Mengapa usaha pembuatan sulim lesu? Sebabnya sederhana: bayaran yang diterima sering kali tidak mencukupi kebutuhan hidup. Minat beli masyarakat terhadap sulim pun rendah, sehingga usaha ini hanya cukup untuk kebutuhan dasar. Inilah duka sulim.

Bagaimana solusinya? Sebagai pemain sulim dan abdi negara yang mengelola dana APBN, khususnya Dana Transfer ke Daerah, saya berpendapat bahwa usaha sulim Batak, termasuk UMKM dan Ultra Mikro, harus menjadi prioritas dalam alokasi Belanja Negara. Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa harus mencapai pelaku usaha di tingkat akar rumput, termasuk pengrajin sulim. Di sisi perpajakan, relaksasi kebijakan diperlukan agar laba yang kecil dapat mendukung keberlangsungan usaha.

Semoga alunan sulim dari tanah Batak hingga ujung timur nusantara menggugah semangat kita sebagai rakyat Indonesia. Saya berharap pemerintah, baik pusat maupun daerah, mendukung dunia usaha sulim Batak. Semoga.