wong deso cover

Wong Ndeso vs Wang Deshun

Namaku Joni Maslahat, aku lahir dan dibesarkan di sebuah desa di kaki gunung Merapi. Entah mengapa Bapakku memberikan nama yang terdengar aneh tersebut. Meski Bapak tidak pernah bercerita tentang pemberian namaku hingga beliau meninggal setahun lalu, aku pun tidak pernah berani bertanya kepada beliau. Biarlah hal ini menjadi rahasia bapak dan ibuku, yang juga sudah meninggal lebih dahulu. Aku pernah menduga nama Joni diambil dari kata ‘ijon’ suatu kebiasaan transaksi kredit kepada petani yang pembayarannya dilakukan dengan hasil panen dengan harga jual yang rendah. Sedangkan Maslahat berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Mungkin saat aku lahir, orangtuaku sedang mempunyai tanggungan utang dan diharapkan kelahiranku akan membawa manfaat mengurangi beban pikiran akibat utang tersebut.

Sejak kecil aku terbiasa bekerja keras, membantu Bapak mencangkul di sawah dan menyiangi rumput merupakan kegiatan sehari-hari selepas pulang sekolah. Saat ini usiaku empat puluh tahun. Hingga saat ini pun aku selalu menjaga kebugaran fisik dengan berolahraga secara mandiri maupun bergabung dengan beberapa komunitas olahraga. Meski berasal dari desa, namun prestasi akademisku cukup membanggakan. Sehingga sekarang aku bekerja sebagai abdi negara di salah satu unit instansi Kementerian Keuangan di Jakarta, setelah sebelumnya menyelesaikan kuliah kedinasan tanpa biaya.

Meski pun secara materi kami berkecukupan, namun secara immateri saat ini keluarga kami agak kekurangan interaksi fisik. Sejak tujuh bulan lalu, karena kepindahan tugas ke Jakarta aku terpaksa meninggalkan istri dan kedua anakku di sebuah kota yang berjarak ratusan kilometer dari Jakarta. Keluargaku belum bisa ikut karena si sulung saat ini masih duduk di kelas enam sekolah dasar, agak ribet urusannya kalau mau pindah sekolah. Mungkin nanti beberapa bulan lagi, ketika kelulusan sekolah akan aku ajak mereka berkumpul kembali di Jakarta.

Sebagai bujang lokal di Jakarta yang biasa bertemu keluarga tiap dua pekan sekali, kadang sebulan baru pulang maka kerinduan itu aku lenyapkan dengan kegiatan bermanfaat seperti mengikuti pengajian di masjid dan berolahraga di Gym Center. Dari dua kegiatan inilah aku mengenal Jodi, seorang eksekutif muda yang atletis dan relijius. Bahkan untuk urusan pengajian, dia rela berangkat ke luar negeri untuk mengikuti kegiatan ini. Kira-kira dua pekan lalu pun dia baru pulang dari Malaysia, setelah mengikuti sebuah kegiatan pengajian di sana.

Sedangkan untuk kegiatan di Gym Center, aku baru mulai aktif sekitar satu atau dua tahun lalu setelah terinspirasi dari kisah hidup seorang tokoh dari Cina. Wang Deshun, aku mengenal nama itu ketika mengikuti beberapa seminar motivasi dua atau tiga tahun lalu. Seorang kakek yang inspiratif, memulai profesinya sebagai peragawan di usianya yang sudah lanjut. Mulai terkenal di dunia fesyen internasional ketika usianya mendekati delapan puluh tahun. Seorang kakek yang pernah menjadi inspirasiku untuk terus menjaga kebugaran tubuh hingga usia lanjut. Aku pernah bermimpi mengalahkan Wang Deshun dalam kebugaran tubuh di usia lanjut. Dalam mimpiku, selain sebagai peragawan, aku pun menjuarai beberapa lomba olahraga tingkat dunia.

Selain Wang Deshun, aku pernah juga bermimpi menyaingi Mahathir Mohamad, seorang tokoh dunia dari negeri jiran Malaysia yang mampu terpilih kembali menjadi perdana menteri Malaysia ke-7 di usianya yang ke-93 tahun pada tahun 2018, setelah jeda menjabat pada periode ke-5 dan ke-6. Saat itu, mimpiku adalah pada usia menjelang satu abad, aku pun masih aktif dan menjadi ketua di beberapa organisasi internasional.

Setiap pekan aku berkeliling dunia, mengikuti acara-acara level dunia dan melihat perkembangan situasi di dunia ketiga. Aku mencatat negara-negara mana yang perlu mendapat dukungan dana untuk pembangunan, kemudian kami bantu dan kami awasi penggunaannya. Apabila ada negara yang menyalahgunakan dana bantuan, kami segera meminta negara-negara lainnya untuk mengembargo negara tersebut.

Namun sekarang aku sedang berbaring di atas ranjang pada sebuah rumah sakit di Jakarta. Lima hari lalu aku cek medis di puskesmas karena merasa kurang sehat, namun petugas medis di puskemas memintaku untuk melakukan tes medis di rumah sakit rujukan karena diduga terpapar COVID-19 atau dikenal juga dengan nama Virus Corona..

Sejak saat itulah aku membenci negara Cina, dan juga Malaysia. Dua negara tempat tinggal dua tokoh yang pernah menginspirasi hidupku. Membenci negara Cina karena di sanalah awal mulanya COVID-19 ini muncul, juga Malaysia karena kemungkinan aku terpapar virus tersebut dari interaksiku dengan Jodi yang belum lama pulang dari Malaysia. Saat itu ada kabar bahwa kegiatan pengajian di Malaysia, yang diikuti oleh ribuan jamaah dari berbagai negara menjadi salah satu penyebab menyebarnya COVID-19 pada jamaahnya, mungkin salah satunya adalah Jodi.

Dalam ruangan terisolasi, kesepian sendiri tanpa teman tanpa kebebasan aktivitas fisik. Bahkan petugas medis yang beberapa kali memeriksaku pun aku tidak tahu orang yang sama atau berbeda, karena mereka menggunakan APD yang tertutup rapat. Hanya seperempat wajah di sebagian dahi dan sekitar mata yang tampak. Sepi, tak ada bunyi kendaraan lalu-lalang di jalan seperti suasana di lingkungan rumah dinas atau suara anak-anak bermain seperti di rumah. Di sini hanya ditemani renungan ingatan masa lalu dan impian-impian masa depan.

Ku teringat keluargaku, istriku Juni, anakku Agus dan Mei. Maafkan suamimu, yang belum sempat pulang dan membelikan sesuatu buatmu. Maafkan Bapak, ya gus. Belum bisa bermain bulu tangkis lagi denganmu di halaman rumah seperti biasa yang kita lakukan di pagi hari. Maafkan Bapak, ya Mei. Mainan yang kau pesan waktu itu belum bisa Bapak antar ke rumah, meskipun sudah dibeli dan disimpan di rumah dinas. Kring..kring kring..kring, Bunyi itu, Bapak ingat bunyi bel sepeda yang kau bunyikan ketika berkeliling halaman rumah. Apakah nanti Bapak sempat mendengarnya lagi?

Hari-hari ini adalah hari pembuktian, pertarungan antara antibodi wong ndeso melawan virus saudara se-tanah air Wang Deshun. Aku takkan menyerah, meskipun virus itu telah mengalahkan ratusan bahkan ribuan orang di seluruh dunia. Aku takkan menyerah.

Tapi, akkhh… Sakit rasa sesak di dada ini membuatku sulit bernapas. Apakah ini sakaratul maut? Ya, Allah masih banyak kebaikan yang belum sempat kulakukan. Masih banyak kesalahan dan kezaliman yang belum kumintakan maaf. Dosaku teramat banyak, belum cukup bekal untuk menghadap-Mu, ya Allah. Izinkanlah aku hidup beberapa saat lagi, cukup untuk melakukan banyak kebaikan, meminta maaf dan memohon ampunan-Mu, ya Allah.

Akkhh… kepalaku pening. Sekujur badanku mulai kaku membeku meskipun dalam suhu tiga puluh delapan derajat celcius. Letih, bosan sepertinya aku tak sanggup lagi. Akkhh….

Kring…kring…kring..

Nada dering HP menyadarkanku. Tersentak aku dalam posisi duduk di kursi dalam kamar rumah dinas. Nada dering jadul layaknya bunyi bel sepeda itu telah menyadarkanku dari mimpi pada pagi hari. Tertidur saat aku masih melakukan WFH pada hari ke sepuluh. Segera kulihat siapa yang menelpon ternyata Pak Budi, atasanku.

“Jon, koq lama sih angkat telponnya. Tadi beberapa menit lalu juga saya telpon, gak diangkat. Kenapa?”

“Maaf pak, saya ketiduran..hehehe.” jawabku

“Ya, sudah gak apa-apa. Tadi sempat khawatir juga, jangan-jangan…. Tapi sudahlah, syukur kamu tidak apa-apa. Tugasnya tetap dikerjakan ya, besok dipresentasikan via zoom.”

“Siap, pak.”

Memang salah satu tugas atasan adalah memantau anak buahnya dalam bekerja. Itu pula yang dilakukan Pak Budi setiap harinya kepada masing-masing anak buahnya. Sejak kasus merebaknya wabah COVID-19, kantor kami memperlakukan kebijakan WFH secara bergiliran. Jumlah pegawai yang bekerja di kantor kurang dari lima puluh persen dari keseluruhan pegawai setiap harinya. Hal ini terpaksa dilakukan sebagai salah satu bentuk physical distancing untuk mencegah penyebaran COVID-19 lebih luas.

Alhamdulillah, ternyata aku masih segar bugar tidak ada indikasi terpapar COVID-19. Aku berjanji akan lebih baik lagi dalam menjalani hidup, mensyukuri kesempatan dan kesehatan yang diberikan Allah.

Sekilas kulirik foto keluarga dalam bingkai kecil masih terpajang di atas meja, “Juni, Agus, Mei doakan ya, semoga wabah COVID-19 segera berlalu, dan kita akan berkumpul lagi pada lebaran nanti. Aamiin”, bisikku dalam hati.

Kembali kulanjutkan membuat materi presentasi. Ujung jemariku mulai menari mengentak di atas tombol keyboard laptop. Sayup-sayup terdengar lagu ‘Elegi Esok Pagi’-nya Ebiet G. Ade dari tetangga sebelah rumah dinas,” ..bukan hanya mimpi di atas mimpi”.

(Cerpen ditulis pada medio April 2020, saat awal kasus Covid-19 masuk ke Indonesia)